Miqat Haji

Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu. [5] Dan haji memiliki dua Miqat yaitu Miqat zamani dan makani. Adapun Miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu: Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Bersegeralah Berhaji Bagi yang Sudah Mampu

Setelah kita mengetahui tentang hukum haji dan umrah, maka ketahuilah bahwa kewajiban tersebut harus dilaksanakan sesegera mungkin jika sudah termasuk yang diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil dan penjelasan para ulama di bawah ini: Baca lebih lanjut
By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

“Haji Wajib” Bagi Wanita Boleh Tanpa Mahram

المسألة الرابعة: سفر المرأة إلي الحج بلا محرم. تنازع العلماء في هذه المسألة هل هو شرط في الوجوب أم لا؟

بمعني إذا لم تجد محرما هل يسقط عنها الوجوب أو لا يسقط؟ تنازع العلماء علي قولين:

Syaikh Dr Abdul Aziz bin Rais ar Rais, “Tentang wanita mengadakan perjalanan jauh alias dalam rangka pergi haji tanpa mahram, para ulama bersilang pendapat tentang masalah ini apakah mahram bagi wanita adalah syarat wajib haji ataukah bukan? Artinya jika seorang muslimah tidak menjumpai mahram apakah kewajiban pergi haji itu gugur darinya ataukah tidak? Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Arti “Kemampuan” dalam Haji

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daiman Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah yang dimaksudkan kemampuan melaksanakan haji ? Apakah pahala haji yang terbesar ketika pergi ke Mekkah ataukah setelah kembali darinya ? Dan apakah pahala haji di sisi Allah lebih besar jika dia kembali dari Mekkah menuju tanah airnya ? Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Hukum dan Syarat Haji

HUKUM HAJI

Hukum haji adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim yang mampu, wajibnya sekali seumur hidup. Haji merupakan bagian dari rukun Islam. Mengenai wajibnya haji telah disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepakatan para ulama).

1. Dalil Al Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97). Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), “Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. Di sini, Allah menjadikan lawan dari kewajiban dengan kekufuran. Artinya, meninggalkan haji bukanlah perilaku muslim, namun perilaku non muslim. Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Keutamaan Ibadah Haji dan ‘Umrah

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.” [1] Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Sedekah Sunnah

Pada umumnya, berinfaq adalah salah satu sebab dekatnya seseorang dengan Rabbnya, juga sebab masuknya ke surga, harta tidak akan berkurang karena diinfaqkan, bahkan sebaliknya harta akan semakin bertambah, sebagaimana dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam dalam haditsnya yang shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ.

 

“Tidak berkurang harta yang disedekahkan, dan Allah tidak akan menambahkan kepada seseorang yang suka memaafkan, melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bertawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah melainkan Allah mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim). Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Panduan Praktis Zakat Fithri

Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.

Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih.

Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3] Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Wajibkah Membagi Rata Zakat Kepada Semua Golongan Penerima Zakat?

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.

Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”

———–

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]

http://almanhaj.or.id/content/914/slash/0

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih

Golongan yang Berhak Menerima Zakat

 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (Qs. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1] Baca lebih lanjut

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Fikih