Keterikatan Hati Antar Sesama Muslim

Keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim), maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya.

Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26)

Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu dan ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik isi nasihat beliau di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan saudaranya menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima dakwah, karena mereka bisa menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh dan terlalu cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar kelompok kita? Apa salahnya jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah hikmah itu adalah barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata karena kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak. Lalu apakah bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-kyainya? Renungkanlah saudaraku… Terkadang musuh yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman yang bungkam dari ketergelinciran kita.

Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas pangkuan manhaj Salaf sementara kita sendiri justru memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida’ wal ahwa’? Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba memohon kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran. Engkau lah Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami mengakuinya dan kami mohon ampunan kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran dan bimbingan para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum Salafiyin yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

***

Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Akhlak