Al-Itsar [Mendahulukan Kepentingan Orang Lain]: Pengertiannya, Hukumnya dan Kisah Para Ulama Berkenaan Dengannya

Sungguh amat pantas apabila Allah subhanahu wata’ala menempatkan para Shahabat Radhiyallahu’anhum di tempat yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan memberikan jaminan akan kehidupan yang penuh dengan kebaikan dan keberkahan, khususnya kehidupan di akhirat kelak berupa surga yang selalu didambakan oleh setiap mu’min, sebagaimana yang telah diabadikan di dalam Firman Allah subhanahu wata’ala yang mulia, artinya,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 100)

Apakah yang mengantarkan mereka sehingga dapat meraih apa yang ingin diraih oleh setiap insan. Tentunya karena ada sesuatu yang ajaib pada mereka. Sesuatu yang mengagumkan di balik kehidupan dan kepribadian mereka yang sarat dengan kebaikan dan keteladanan yang pantas untuk dicontoh dan diikuti. Bahkan mengikuti dan meneladani mereka adalah suatu yang niscaya dan wajib bagi setiap muslim. Dan sebaliknya tidak mau mengikuti dan meneladani mereka adalah suatu kehancuran, merupakan bentuk kesombongan serta penolakan terhadap seruan Ilahi. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, “Tidak masuk surga seseorang yang di dalam dirinya masih terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar dzarroh. Bertanya seseorang: apa itu sombong? Lalu Rasulullah menjawab: menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)

Hati siapa yang tidak akan terkesan dan tergugah ketika kembali menelusuri dan menapaktilasi kehidupan para sahabat. Sifat dan akhlak yang mulia menghiasi hari-hari mereka, ibadah yang tulus dan ikhlas memenuhi relung-relung kehidupan mereka. Tentunya tidak cukup untuk dilukiskan dan dipaparkan semua kehidupan mereka dalam media ini. Mari kita ambil satu saja dari sifat-sifat mereka yang agung sebagai contoh dan bukti bahwa betul ungkapan di atas yang mengawali tulisan ini. Yakni sebagaimana kisah yang terdapat dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu dia berkata, “Sungguh aku ini miskin dan sangat lapar.” Lalu Rasulullah n menyampaikan hal tersebut kepada sebagian istri beliau. Maka mereka berkata, “Demi Dzat yang telah Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan hal itu kepada istri-istri beliau yang lain. Sampai semuanya mengatakan jawaban yang sama, “Demi Dzat yang telah Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun bertanya kepada para sahabat, “Siapakah kiranya yang sudi menjamu tamuku malam ini? Maka berkatalah seorang dari kalangan Anshar, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian sahabat tersebut membawa tamunya ke rumahnya. Lalu berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa shahabat tersebut bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk menjamu tamu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam). Istrinya pun menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita. Lalu sahabat tersebut berkata, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu (ajak main), kalau mereka ingin makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang makan), maka padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita sedang makan bersamanya. Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur dalam keadaan menahan lapar. Tatkala pagi, pergilah mereka berdua (sahabat dan istrinya) menuju Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberitakan (pujian Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka berdua), “Sungguh Allah merasa heran/kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian).”(Muttafaqun ‘alaih)

Subhanallah wa maa sya’allah, mungkin kalimat inilah yang pertama kali pantas diucapkan. Bukan hanya Allah subhanahu wata’ala yang kagum melihat peristiwa semacam ini tentunya, tapi siapa pun yang membaca dan mendengar kisah ini juga akan turut terkagum-kagum. Ya, memang sangat pantas kalau mereka diistimewakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Kita pasti sadar dan mengakui tidak semua orang mampu melakukan perbuatan tersebut. Terlebih lagi di tengah himpitan ekonomi yang membuat hati kehilangan rasa belas kasihan terhadap orang yang boleh jadi jauh lebih sulit dan susah hidupnya, karena merasa “toh saya juga susah”. Dia lupa atau mungkin tidak tahu kalau hidup ini sebuah ujian Allah, dunia adalah tempat berinvestasi kebaikan dan pahala. Atau mungkin dia lupa bahwa surga diperuntukkan bagi orang-orang yang bukan saja mampu menyedekahkan hartanya saat dia memiliki kelapangan rizki, tapi juga mampu memberikannya kepada orang lain saat ia juga sangat membutuhkan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman bahwa perbuatan di atas merupakan bagian dari ciri-ciri atau sifa-sifat orang yang bertakwa atau penghuni surga,
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.”
(QS. Ali Imron: 134).

Sifat inilah yang dikenal dengan ‘al-Itsar’, di mana para ulama mendefinisi kannya (di antaranya Syaikh Ibnu Utsaimin) adalah mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala tentang sifat atau perbuatan yang terpuji ini, yang dimiliki oleh para shahabat Anshar, artinya,
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. al-Hasyr: 9)

Hukum Seputar Al-Itsar

Tidak semua yang baik akan selamanya menjadi baik, misalnya ketika diletakkan pada tempat yang tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan hukum-hukum syar’i atau ditinjau dari perspektif hukum Islam. Seperti perkataan hak yang tidak diucapkan pada tempat yang hak, maka ia tidak dikatakan dengan “al-Qoul as-Sadid” (ucapan yang benar), karena dampaknya bukan suatu yang mendatangkan maslahat dan kebaikan, justru sebaliknya yang ada hanya fitnah dan madharat baik bagi orang yang mengucapkannya atau bagi orang yang mendengarkannya. Begitu juga dengan “al-Itsar”, tidak semua mengutamakan orang lain atas diri kita itu menjadi kebaikan atau ternilai ibadah, tatkala mengutamakan di sini justru bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama yang ada. Maka dari hal ini Syaikh Ibnu Utsaimin membagi al-Itsar menjadi 3 macam hukumnya:

Yang pertama; Haram.

Kapan sifat atau perbuatan yang pada asalnya adalah terpuji ini, justru dihukumi haram ketika dilakukan. Yakni ketika seseorang mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang diwajibkan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya. Contoh: seorang yang belum berwudhu dan hanya memiliki air yang cukup untuk dirinya sendiri, sementara ada orang lain yang juga belum berwudhu dan tidak memiliki air. Dalam hal ini haram baginya memberikan air tersebut untuk saudaranya. Karena kewajiban orang yang memiliki air saat masuk waktu sholat adalah berwudhu dengan air tersebut, sedangkan saudaranya, maka gugurlah kewajiban nya untuk berwudhu dengan air, karena ketidakadaannya. Dan dalam hal ini ia bertayammum dengan debu sabagai ganti air.

Yang ke dua; Makruh atau Mubah

Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang mustahab atau sunnah. Di mana para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian menghukumi makruh dan sebagian lain menghukumi mubah, tetapi meninggalkan nya adalah lebih utama kecuali di dalamnya ada maslahat. Contoh: seorang yang mempersilahkan orang lain pada tempatnya di shaf yang pertama dalam shalat. Maka perbuatan seperti ini dianggap makruh oleh sebagian ahlul ilmi. Alasannya karena orang tersebut berarti tidak mencintai kebaikan, sedang tidak cinta kepada kebaikan adalah perbuatan yang makruh. Sebagian lain berpendapat mubah tetapi meninggalkannya (al-itsar dalam perkara yang mustahab) adalah lebih utama (aula) kecuali ada maslahatnya. Contoh: seorang yang mempersilahkan bapaknya pada tempatnya di shaf pertama, karena khawatir tersinggung dan lain sebagainya (menimbulkan fitnah), maka dalam hal ini dibolehkan.

Yang ke tiga; Mubah

Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang bukan ibadah. Dan terkadang hukumnya menjadi mustahab (sangat dianjurkan dan terpuji). Contoh seorang yang memiliki makanan dan ia dalam keadaan lapar, sementara saat itu ada saudaranya yang juga lapar, maka jika seorang tersebut mengutamakan saudaranya atas dirinya padahal ia juga dalam keadaan yang sama (lapar) tentunya hal ini perbuatan yang sangat terpuji (mahmud), sebagaimana telah disebutkan di atas dalam surat al-Hasyr ayat: 9, bagaimana Allah subhanahu wata’ala memuji para sahabat Anshar yang memiliki sifat al-Itsar tersebut. Dan juga seperti perbuatan seorang sahabat anshar dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di atas yang diriwayatkan secara Muttafaq ‘alaih.
Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari uraian di atas dan juga bisa meneladani sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan terpuji yang dimiliki Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat beliau sehingga bisa menjadi salah satu sebab kita dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan dimasukkan ke dalam surga Nya. Amin. (Abu Nabiel)

Sumber:
– Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hasyr ayat: 9
– Riyadhush Shalihin, syarah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

———————————————————————————————————

Lembaran kita kali ini akan mengangkat sebuah tema yang mengingatkan kita kepada salah satu sisi kehidupan para shahabat dan pengikut mereka as salafus shalih. Hadits-hadits yang akan kami kemukakan kepada para pembaca merupakan sebuah sikap dan perangai yang secara langsung telah diterjemahkan oleh para shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam di dalam kehidupan mereka. Sikap dan perilaku tersebut tak lain adalah “itsar” yakni mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang lain sekalipun dia sendiri sangat membutuhkannya, dan ini merupakan tingkatan tertinggi dari sifat derma. Sebab memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan merupakan hal yang amat berat. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah memuji para shahabat ra karena sikap itsar yang melekat pada diri mereka, sebagaimana firmannya:
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. 59:9)

Itsar adalah salah satu akhlaq mulia dan luhur, ia merupakan salah satu sifat Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam sehingga Allah menyebut beliau sebagai ‘ala khuluqin ‘adzim, senantiasa berada di atas akhlaq yang luhur. Maka tidak mengherankan jika para shahabat yang merupakan hasil didikan dan gemblengan beliau menjadi manusia-manusia pilihan. Sehingga sejarah kemanusiaan rasanya sulit sekali dapat melahirkan manusia-manusia semisal mereka.

Hal itu sangatlah berbeda jauh dengan realita kehidupan di masa kini, dimana egoisme, individualisme, mau menang sendiri dan tidak memikirkan orang lain benar-benar telah melanda sebagian besar umat manusia, tak terkecuali umat Islam pun banyak yang terkena virus ini. Asalkan dirinya telah kaya raya, dapat menumpuk harta, hidup serba enak dan kecukupan, maka sudah cukup, itulah kira-kira prinsip mereka. Orang lain susah, tetangga kelaparan, miskin dan menderita itu urusan mereka sendiri, tidak ada urusan dengan dirinya. Jangankan sampai ke tingkat itsar, sekedar sedikit membantu atau meringankan beban saja terkadang enggan, alasannya karena harta yang didapat adalah hasil kerja dan usahanya sendiri, sehingga sayang kalau diberikan dengan percuma dan cuma-suma kepada orang lain. “Enak saja, saya yang bekerja mengapa orang lain ikut-ikutan menik-matinya,” demikian kira-kira ungkapan yang mungkin keluar dari mereka. Sungguh memprihatinkan memang.!!

Maka membuka kembali lembar kehidupan para shahabat yang menggambarkan sikap pengorbanan, mendahulukan orang lain dan mengalah adalah sangat perlu bagi kita, apalagi ketika krisis dan kemiskinan tengah melanda bangsa kita seperti saat ini. Dari mereka dan juga para ulama, kita akan mendapatkan pelajaran dan teladan yang berharga, sebagaimana tersebut di dalam riwayat-riwayat berikut ini.

Seorang Shahabat dengan Tamunya

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa suatu ketika ada seorang tamu datang kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, seluruh istri beliau tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya air. Maka Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Barang siapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya.” Seorang laki-laki kaum Anshar berdiri dan berkata, “Saya akan menjamunya wahai Rasulullah.” Maka diajaknya tamu tersebut ke rumahnya. Sesampai di rumah dia berkata kepada istrinya, “Apakah engkau masih memiliki sesuatu? Sang istri menyahut, “Tidak, selain sedikit jatah buat anak kita.” Maka diapun berkata kepada istrinya, “Bujuk dan iming-imingi anak-anak dengan sesuatu, kemudian apabila tamu kita masuk rumah matikanlah lampu dan buatlah kesan, bahwa kita juga sedang makan. Apabila nanti tamu sudah siap makan, maka kamu segera mematikan lampu tersebut. Berkata perawi, “Mereka sekeluarga hanya duduk-duduk saja (tidak makan), sedangkan tamunya makan. Lalu pada pagi harinya orang tersebut datang kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, Nabi bersabda, “Allah heran dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam,” maka Allah menurunkan ayat (QS. Al Hasyr ayat 9).
(HR. Al Bukhari dan Muslim)

Kisah Sa’ad bin ar-Rabi’ dengan Abdur Rahman bin Auf

Abdur Rahman bin Auf mengisahkan, “Ketika kami sampai di Madinah, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mempersaudarakan aku dengan Sa’ad bin ar Rabi’, maka Sa’ad bin ar Rabi’ mengatakan, “Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka aku akan bagikan untukmu separuh hartaku, dan silakan kau pilih mana di antara dua istriku yang kau inginkan, maka akan aku lepaskan dia untuk engkau nikahi. Perawi mengatakan, “Abdur Rahman berkata, “Tidak usah, aku tidak membutuhkan yang demikian itu.”
(HR al Bukhari dan Muslim, lafal hadits milik al Bukhari)

Umar Ibnul Khaththab dengan saudaranya Zaid Ibnul Khaththab

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umarzdia berkata, “Umar bin Khaththab berkata kepada saudaranya Zaid Ibnul Khaththab pada waktu perang Uhud,” Aku bersumpah agar kamu mau memakai baju besiku ini, maka Zaid pun memakai baju besi itu namun ia melepaskannya lagi. Maka Umar berkata kepadanya, “Ada apa denganmu (mengapa kau lepas)?“ Maka zaid menjawab, “Aku menghendaki terhadap diriku sebagaimana yang engkau kehendaki terhadap dirimu.”
(HR Ibnu Sa’d dan ath Thabrani dalam al Ausath)

[Tiga Shahabat Menjelang Naza’

Dari Abdullah bin Mush’ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, “Telah syahid pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, “Berikan dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu. Dalam versi lain perawi menceritakan, “Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah mening-gal tanpa sempat merasakan air tersebut (sedikitpun).
(HR Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa’ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi’ah sebagai ganti Suhail bin Amr)

Abu Thalhah dengan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Abu Thalhah pada perang Uhud menjadi pasukan panah dengan posisi di depan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, dia memang seorang yang ahli memanah. Apabila Abu Thalhah memanah maka Rasulullah memperhatikan kemana sasaran anak panahnya mengena. Maka Abu Thalhah mengangkat dadanya (untuk melindungi Nabi) seraya berkata, “Begini wahai Rasulullah, supaya engkau tidak terkena sasaraan panah musuh, biarlah yang terkena adalah leherku bukan lehermu.”
(HR Ahmad dan selainnya, sanadnya shahih)

Hadiah Kembali Kepada si Pemberi

Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berkata, “Salah seorang dari shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam diberi hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, “Sesungguhnya fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita.” Ibnu Umar mengatakan, “Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah itu di kirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan.”
(Riwayat al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/259)

Ibnu Umar dan Pengemis

Nafi’ maula (klien) Ibnu Umar meriwayatkan, “Ibnu Umar suatu ketika sakit, dia sangat menginginkan anggur pada awal musimnya. Maka dia mengutus Shafiyah (istrinya) dengan membawa satu dirham untuk membeli anggur segar. Ketika pelayan (utusan) mengantarkan anggur, dia diikuti oleh seorang pengemis. Setelah sampai di pintu rumah, maka utusan masuk. Dari luar berkata pengemis, “Ada pengemis.” Maka Ibnu Umar berkata, “Berikan anggur itu kepadanya.” Maka utusan itu memberikan anggur tersebut kepada si pengemis.(HR al Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/260).
Dan demikian itu terulang hingga dua kali, sehingga Shafiyah meminta agar pengemis itu tidak kembali lagi untuk ketiga kalinya.

Ummul Mukminin Aisyah Radhiallaahu anha dan Orang Miskin

Anas bin Malik meriwayatkan dari Aisyah Radhiallaahu anha, bahwa ada seorang miskin meminta-minta kepadanya padahal dia sedang berpuasa, sementara di rumahnya tidak ada makanan selain sekerat roti kering, berkata Aisyah kepada pembantunya, “Berikan roti itu kepadanya,” si pembantu menyahut, “Anda nanti tidak memiliki apa-apa untuk berbuka puasa. Maka beliau berkata lagi, “Berikan roti itu kepadanya.” Perawi mengatakan, “Maka pembantu itu melakukannya, dan dia berkata, “Belum menjelang sore ada salah satu dari keluarga Nabi, atau seseorang yang pernah memberi hadiah mengantarkan daging kambing (masak) yang telah ia bungkus. Maka beliau memanggilku dan berkata, “Makanlah engkau, ini lebih baik daripada rotimu tadi.”
(HR Malik dalam al Muwaththa’ 2/997)

Bersama Para Salaf.

  • Al-Haitsam bin Jamil meriwayatkan bahwa Fudhail bin Marzuq datang kepada al Hasan bin Huyaiy karena ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan dia tidak punya apa-apa. Maka al Hasan memberikan enam dirham dan dia memberitahukan, bahwa ia tidak memiliki selain itu. Maka Fudhail berkata, “Subhanallah, Saya mengambil semuanya sedangkan engkau tidak punya yang lain?” Namun al Hasan enggan mengambil semua nya, dan Fudhail juga enggan. Akhirnya dinar itu dibagi dua, dia ambil tiga dinar dan dia tinggalkan tiga dinar.(Tahdzib al Kamal 23/308)
  • Diriwayatkan dari Yahya bin Hilal al Warraq dia berkata,”Saya datang kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair untuk mengadukan sesuatu kepadanya, maka dia mengeluarkan empat atau lima dirham seraya berkata, “Ini separuh harta yang ku miliki. Dan dalam kesempatan lain aku mendatangi Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dia mengeluarkan empat dirham dan berkata, “Ini keseluruhan yang aku miliki.” (riwayat Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal 320)
  • Dari Aun bin Abdullah dia berkata, “Seseorang yang sedang berpuasa berteduh, ketika menjelang berbuka seorang pengemis datang kepadanya, ketika itu dia memiliki dua potong kue. Maka salah satunya diberikan kepada si pengemis, namun sejenak ia berkata, “Sepotong tidaklah membuatnya kenyang, dan sepotong lagi tidak membuatku kenyang, maka kenyang salah satu lebih baik daripada kedua-duanya lapar.” Akhirnya ia berikan yang sepotong lagi kepada si pengemis. Kemudian ketika tidur dia bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Min-talah apa saja yang kau kehendaki.” Dia menjawab, “Aku minta ampunan. Orang tersebut berkata, “Allah telah melakukan itu untukmu, mintalah yang lain lagi!” Dia berkata, “Aku memohon agar orang-orang mendapatkan pertolongan.” (riwayat ad Dainuri dalam al Mujalasah 3/47)
    Wallahu a’lam bish shawab

Sumber : Kutaib “Mawaaqif min Itsar as-Shahabah was salafus shaleh” al-Qism al-Ilmi Darul Wathan, bittasharruf wazziyadah (Ibnu Djawari) (18 Sya’ban 1424 H)

 

Sumber: http://www.alsofwah.or.id

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Akhlak