Al-Hilm: Menahan Diri untuk Melampiaskan Amarah Walaupun Mampu

Suatu ketika, Aisyah radiyallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Pernahkah engkau mengalami suatu hari yang lebih berat daripada perang uhud?”.

Beliau menjawab “Aku sudah mendapatkan apa yang pernah aku dapatkan dari kaummu (kaum Quraisy), namun yang paling berat adalah saat di Aqobah saat itu aku akan menyeru Ibnu Abdi Yalail dan Abdi Kallah” (pemimpin bani tsaqif di Thoif).

Saat itu Rasulullah sedang  berda’wah di daerah Thoif, dan beliau menginap disana selam 10 hari. Setiap pemuka masyarakat yang datang kepada beliau pasti beliau menyerunya untuk masuk Islam. Namun tidak satupun dari mereka  yang menerima ajakan beliau. Akhirnya mereka mengusir beliau dengan mengatakan: “Usir orang ini dari negeri kita, kerahkan semua rakyat untuk memperdayainya”.

Ketika beliau hendak pergi, orang-orang jahat dan para hamba sahaya dari kalangan mereka membuntuti beliau sambil mencaci maki. Kemudian mereka membentuk 2 barisan disamping beliau dan melempari beliau dengan batu sambil diiringi dengan cacian. Karena lemparan itu kaki beliau berdarah hingga membasahi terompahnya. Sementara Zaid bin Haritsah melindungi beliau dengan badannya, hingga tidak terhitung lagi berapa luka yang ada ditubuhnya. Mereka terus berbuat demikian hingga beliau sampai disebuah kebun anggur milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah.

Setelah itu beliau menengadahkan mukanya keatas yang disana ada segumpal awan yang melindunginya, dan disana ada Jibril. Dia berseru “Sesungguhnya Allah sudah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan terhadap dirimu. Allah telah mengutus malaikat  penjaga gunung agar engkau menyuruhnya menurut apa yang engkau kehendaki”. Lalu malaikat penjaga gunung itu menyeru kepada Nabi SAW sambil mengucapkan salam: “Wahai Muhammad, hal itu sudah terjadi. Apa yang engkau kehendaki(sekarang)? Jika  engkau menghendaki untuk meratakan Akhsaybain(Thoif), tentu aku akan melakukannya”.

Nabi SAW menjawab: “(tidak perlu), bahkan aku berharap kepada Allah agar dia mengeluarkan dari kalangan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutkan sesuatupun denganNya”.

Itulah gambaran sikap lemah lembut (Al-Hilm), yaitu posisi antara dua hal yang hina, yakni kemarahan dan kedunguan. Jadi jika seseorang mengikuti amarahnya tanpa menggunakan akal pikiran dan perenungan, berarti dia berada dalam satu kehinaan, dan jika ia rela dengan kezaliman dan kesewenangan maka dia pun berada dalam kehinaan yang serupa. Tetapi jika dia menghadapinya secara sabar meskipun dia mempunyai kemampuan untuk melampiaskan kemarahannya, maka dia berada dalam kebaikan, dan itulah hakekatnya sifat Al-Hilm.

Begitulah sikap Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, beliau diuji dengan cacian dan siksaan dari orang-orang Thoif. Dan disitu beliau diuji juga dengan tawaran dari malaikat untuk menghancurkan orang-orang Thoif saat itu juga. Tapi beliau mengambil sikap pertengahan dari hal itu. Beliau tidak memerintahkan malaikat untuk meghancurkan Thoif, tetapi justru beliau mendoakan mereka supaya keturunan mereka menjadi orang-orang  yang beriman.

Al-hilm yaitu sikap tenang dan menahan diri pada saat marah. Jadi orang yang mempunyai sikap ini tidak akan marah oleh ejekan orang-orang yang tidak mengetahui dan tidak juga takut dihina oleh orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, tetapi dia akan mengendalikan diri pada saat amarahnya bergejolak.

Sifat ini akan terwujud dengan adanya kesempurnaan ilmu  yang ada pada diri kita. Kemudian setelah itu kita akan bertindak dengan sangat hati-hati, yaitu bertindak bijak antara ketergesa-gesaan dan sikap sikap lamban. Ini menunjukkan kecemerlangan dalam  berfikir. Dari sini kemudian muncul sikap sangat agung yang jarang dimiliki oleh orang awam  pada umumnya, yaitu segi praktis dari sikap sabar dan kehati-hatian yang sering disebut oleh orang dengan sebutan Ar-Rifqu dimana seseorang akan mengambil hal yang paling mudah dan lurus, sehingga kita akan melihat orang tersebut sebagai seorang yang lemah lembut.

Ali bin Abi thalib mengatakan: “Sesungguhnya sikap Al-hilm pada diri seseorang itu dapat diketahui ketika dia marah, orang yang marah maka awalnya (pada saat marah itu) dia seperti orang gila, dan setelahnya yang ada hanya penyesalan”. Karena seseorang yang marah, bisa terjadi dua kemungkinan padanya. Yang pertama ada kemungkinan dia tidak bisa mengendalikan emosinya dan dan ia melampiaskan rasa marahnya itu dengan cara-cara yang buruk, yang menimbulkan banyak kerusakan baik bagi dirinya maupun bagi orang  lain. Inilah yang disebut oleh Ali bin Abi Tholib sebagai sikap orang gila,  dimana saat itu dia tidak perduli dengan dirinya dan keadaan orang lain. Setelah marahnya hilang yang timbul adalah penyesalan, karena seolah-olah ketika ia dalam keadaan marah, ia tidak sadar apa yang terjadi pada dirinya.

Sementara kemungkinan kedua adalah dia bisa mengendalikan dirinya dan tidak melampiaskan kemarahannya, dan inilah yang disebut oleh Ali bin Abi Tholib sebagai sikap Al-Hilm.

Adapun Ahnaf bin Qois memaknai al-hilm dengan makna yang lebih luas, yaitu beliau mengatakan Al-Hilm adalah: “engkau bersabar terhadap apa yang engkau benci”.

Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang anjuran untuk membiasakan sikap al-hilm yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Asyajj Abdul Qois:

إن فيك خصلتين يحبهما الله: الحلم والأناة

“Sesungguhnya di dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai oleh Allah, yaitu Al-Hilm dan Al-Anaat (kehati-hatian)”. (HR Muslim :17 dan 25)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa setiap manusia pada hakikatnya mepunyai sifat al-hilm dan al-’anaat (kehati-hatian), tinggal bagaimana dia memberdayakan sikap itu dalam kehidupannya. Jadi pada hakekatnya semua orang berpotensi untuk menjadi orang yang sholih, tapi kebanyakan manusia lalai dari hal ini dan menganggap bahwa Allah telah menghendaki keburukan pada mereka.

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang keutamaan sikap Ar-rifq, bahwasannya sikap ini  sangat dicintai oleh Allah, beliau bersabda yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, dia berkata, Rsulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda:

إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan”. (Al-Bukhori : X/449, Fath; Muslim 2165).

Hadits ini mengandung perintah untuk berlemah lembut baik dalam ucapan maupun perbuatan, serta memilih yang paling mudah, karena yang demikian itu akan menimbulkan hubungan yang harmonis dan akrab diantara  sesama mukmin.

Kelembutan harus mewarnai seluruh segi kehidupan seseorang, karena sifat ini sangat dicintai oleh Allah. Seluruh segi kehidupan kita harus kita warnai dengan kelembutan karena denganNya akan mendatanmgkan cinta dan ridho dariNya. Aisyah juga meriwayatkan bahwasannya Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:

إن الرفق لايكون في شيئ إلازانه, ولاينزع من شيئ إلاشانه

“Sesungguhnya kelembutan itu tidak terdapat pada sesuatu melainkan akan menjadi penghias baginya, dan tidak juga lepas dari sesuatu melainkan  akan membuatnya buruk”.(HR. Muslim 2594)

Setiap perkara yang didalamnya disertai dengan kelembutan maka kelembutan itu akan menghiasinya dan menjadikan perkara itu baik. Sebaliknya apabila ada suatu perkara yang awalnya disertai dengan kelembutan, kemudian kelembutan itu dicabut darinya, maka seketika itu juga perkara itu akan menjadi buruk. Wallahu ‘Alam

 

Akhlak Lemah Lembut (Al-Hilm)

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Akhlak