Manhaj Dakwah Ahlussunnah

Karakteristik manhaj/dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang membedakannya dengan ahlul bid’ah sangat banyak, dan telah dijelaskan oleh para Imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam banyak kitab karya mereka dan tersebar luas di kalangan kaum muslimin. Untuk itu, kami sebutkan sebagian dari karakteristik tersebut, di antaranya:

Pertama , Ahlus Sunnah Wal Jamaah menerima dan mengambil agama dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amatlah sedikit kalian mengambil pelajaran (darinya).” [ Al-A’raf: 3 ]

Allah Jalla Dzikruhu juga berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya.” [ Al-Hujurat: 1 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا : كَتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Saya meninggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat sesudahnya (yaitu) Kitabullah dan Sunnahku dan keduanya tidak akan bercerai sampai keduanya menemuiku di telaga.” ( Shahih Jami’ Ash-Shaghir karya Al-Albany jilid 3 hal. 39 no. 2934)

Berkata Imam Az-Zuhry rahimahullah, “Dari Allah (turunnya) Ar-Risalah ‘agama,syariat’, dan kewajiban Rasul (shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ) adalah menyampaikan, dan kewajiban kita adalah At-Taslim ‘menerima, tunduk, berserahkan diri’.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dalam Kitab At-Tauhid secara mu’allaq. Lihat Fathul Bary 13/508)

Kemudian Imam Ath-Thahawy menyatakan, “Tidaklah tsabit ‘kuat’ keislaman seseorang kecuali dengan menerima dan berserah diri (kepada kitab dan sunnah-pent.) dengan sepenuh hati.” ( Syarh Al-‘AqidahAth-Thahawiyah hal.201)

Kedua , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidak membedakan antara Al-Qur`an dan As-Sunnah, karena keduanya berasal dari sisi Allah Azza wa Jalla dan keharusan menerimanya adalah sama.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan tidaklah yang dia (Rasulullah) ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan padanya . [ An-Najm: 3-4 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

“Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah . [ An-Nisa`: 80 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

أَلاََ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah, sesungguhnya saya telah diberi Al-Qur`an dan yang semisal dengannya . (Diriwayatkan oleh Ahmad 4/130-131 dan Abu Daud 5/13 no. 4605. Dishahihkan oleh Al-Albany rahimahullah dalam Shahih Al Jami’ 2643)

Ketiga , Ahlus Sunnah Wal Jamaah berhujjah dengan hadits-hadits yang shahih, baik yang mutawatir maupun ahad, baik dalam masalah aqidah maupun ahkam, dan tidak ada perbedaan antara keduanya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan apa-apa yang Rasul datangkan kepada kalian maka terimalah, dan apa-apa yang beliau larang maka tinggalkanlah.” [ Al-Hasyr: 7 ]

Allah Ta’ala berfirman,

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” [ An-Nisa`: 59 ]

Berkata Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Ihkam hal. 102, “Maka benarlah dengan ini, bahwa umat berijma’ dalam menerima khabar ahad seorang yang terpercaya dari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , juga seluruh kaum muslimin menerima khabar ahad seorang yang terpercaya dari Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam .”

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/262, “Maka yang dijadikan sandaran oleh orang-orang yang menafikan ilmu (yakin) dari hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , yang dengan hal tersebut mereka telah mengoyak/merobek ijma’ para shahabat yang dimaklumi secara darurat (pasti) dalam agama, (mengoyak) ijma’ para tabi’in dan ijma’ para imam kaum muslimin. Dan mereka (yaitu orang-orang yang menafikan bahwa hadits ahad memberi faidah ilmu-pent.) dengan hal tersebut telah mencocoki kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidhah dan Khawarij.”

Keempat , Ahlus Sunnah Wal Jamaah memahami, mengambil dan mengamalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih dengan mengikuti jalan As-Salaf Ash-Shalih.

Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan kewajiban mengikuti jalan mereka dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [ At-Taubah: 100 ]

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang menyelisihi jalan mereka dengan firman-Nya,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia larut terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [ An-Nisa: 115 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan kepada sunnah Al-Khulafa` yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian, dan berhati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.

Berkata Imam Ahmad ( Ushul As-Sunnah hal.14), “Dasar-dasar sunnah (agama) di sisi kami adalah berpegang teguh pada apa yang ada pada shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , mencontoh mereka dan menjauhi bid’ah-bid’ah, karena setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Berkata pula Imam Ash-Shabuni ( ‘Aqidatus Salaf hal. 114), “Dan mereka ( Ahlus Sunnah Wal Jamaah , Ahlul Hadits-pent.) mengikuti para salaf yang shalih dari (kalangan) imam-imam dalam agama dan ulama-ulama kaum muslimin, dan mereka berpegang teguh sesuai dengan apa yang ada pada mereka, memegang teguh agama dengan kokoh dan berada di atas kebenaran yang nyata.”

Kelima , berdasarkan poin di atas, Ahlus Sunnah Wal Jamaah meyakini bahwa jalan As-Salaf Ash-Shalih adalah aslam ‘lebih selamat’, a’lam ‘lebih berilmu’, dan ahkam ‘lebih berhikmah’, tidak sebagaimana yang disangka oleh ahlul kalam dan semisalnya bahwa jalan As-Salaf Ash- Shalih hanya aslam sedangkan jalan Khalaf ‘orang-orang belakangan’ a’lam dan ahkam.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan sungguh mereka telah membuat kedustaan terhadap jalan Salaf dan mereka telah sesat dengan membenarkan jalan Khalaf. Maka mereka pun mengumpulkan antara kebodohan tentang jalannya Salaf dengan berdusta atas mereka dan kebodohan dan kesesatan dengan membenarkan jalannya Khalaf. (Lihat Fatawa Al-Hamawiyah Al-Kubra hal. 31-32, cet. Maktabatu Harra`)

Keenam , Ahlus Sunnah Wal Jamaah memulai dakwah mereka dengan hal terpenting kemudian hal yang penting setelah hal terpenting tersebut, karena mereka mendahulukan apa yang didahulukan oleh Allah dan rasul-Nya dan mengakhirkan apa yang diakhirkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka mengingat.” [ Al-Qashash: 43 ]

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, dalam kaset yang berjudul Al-Qawa’id Fi Al-Minhaj , menukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa ayat ini menunjukkan sesungguhnya ahkam ‘ hukum-hukum’ itu turun setelah tetapnya syariat, ketika Allah telah membinasakan Fir’aun dan kaumnya. Kemudian, setelah dakwah Nabi Musa alaihis salam kokoh, barulah Allah menurunkan kepadanya Al-Kitab, yaitu Taurat.

Juga dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma , Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

“Kami memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Ketujuh , prioritas utama dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah kepada tauhid, karena tauhid merupakan misi dakwah para nabi dan rasul di muka bumi ini. Mereka memulai dakwahnya dengan tauhid dan mengakhiri dakwahnya dengan tauhid.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.’.” [ An-Nahl: 36 ]

Allah Jalla Dzikruhu juga berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’.” [ Al-Anbiya`: 25 ]

Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan pula,

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’.” [ Az-Zumar: 65 ]

Lalu, Allah Rabbul ‘Izzah berfirman,

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah sesembahanmu dan sesembahan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, (yaitu) sesembahan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’.” [ Al-Baqarah: 133 ]

Selain itu, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

لَمَّا بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ إِنَّكَ تَقْدُمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوْا اللهَ تَعَالَى.

“Tatkala Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berkata kepadanya, Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari (kalangan) Ahli Kitab, maka hendaknya yang engkau dakwahkan di awal kali kepada mereka adalah untuk mentauhidkan Allah Ta’ala.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kemudian, di akhir hayat, dalam keadaan sakit, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam juga memperingatkan umatnya dari kesyirikan sebagaimana sabda beliau,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَىَ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah telah melaknat orang Yahudi dan Nashara. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kedelapan , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah sumuliyah ‘ universal’, mencakup seluruh bagian agama tanpa terkecuali. Mereka mengagungkan dan memuliakan seluruh perkara agama karena sifat syariat itu cocok untuk segala zaman, setiap umat, dan seluruh keadaan.

Allah Jalla wa Ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kalian.” [ Al-Baqarah: 208 ]

Berkata Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya lagi membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil seluruh bagian-bagian Islam dan syariatnya, mengerjakan semua perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan apa yang mereka mampu.”

Allah JallaTsana`uhu juga berfirman,

“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi’ar- syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” [ Al-Hajj: 32 ]

Allah Azzat Azhamatuhu berfirman pula,

“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah yang terbaik baginya di sisi Rabbnya.” [ Al-Hajj: 30 ]

Bahkan perkara-perkara yang kelihatannya sepele pun diterangkan dalam agama ini, sehingga membuat orang-orang musyrikin dan ahlul kitab iri hati dan dengki, sebagaimana dalam hadits Salman Al-Farisy bahwa beliau berkata,

قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُوْنَ هَلْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ, قَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلِّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ.

“Kaum musyrikin berkata kepada kami, Apakah nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) tata cara buang air?’ Maka dia menjawab, Benar, sungguh beliau telah melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kencing, (melarang) kami ber- istinja` dengan tangan kanan, (melarang) kami beristinja` kurang dari tiga batu atau kami beristinja` dengan kotoran atau tulang.’.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Kesembilan , Ahlus Sunnah Wal Jamaah terus-menerus menampakkan dan membela kebenaran sampai hari kiamat dan tidak takut cercaan orang yang mencela mereka.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” [ Al-Hijr: 94 ]

Allah JallaTsana`uhu juga berfirman,

“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al Qur`an, (supaya jelas jalan orang-orang yang shalih) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” [ Al-An’am: 55 ]

Allah Jalla Sya`nuhu telah mengambil janji kepada manusia supaya tidak menyembunyikan kebenaran sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.’.” [ Ali ‘Imran: 187 ]

Kemudian, Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan ancaman untuk mereka yang menyembunyikan kebenaran sebagaimana dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab, dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” [ Al-Baqarah: 174 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda dalam hadits yang mutawatir riwayat Bukhary, Muslim, dan lain-lain,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok manusia dari umatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan orang-orang yang mencerca dan menyelisihi mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.”

Juga dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit riwayat Bukhary-Muslim, beliau dibaiat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam atas beberapa perkara, di antaranya,

وَعَلَى أَنْ نَقُوْلَ الْحَقَّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

“Dan agar kami mengucapkan kebenaran di manapun kami berada. Kami tidak boleh takut di (jalan) Allah terhadap cercaan orang yang mencerca.”

Lalu, dari Abu Dzar Al-Ghifary radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam memerintahkannya dengan tujuh perkara, di antaranya,

وَأَنْ أَقُوْلَ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

“Dan hendaknya aku mengucapkan kebenaran walaupun itu pahit.” (diriwayatkan oleh Ahmad 5/159,173 dan lain-lain. Dishahihkan oleh Al-Muhaddits Al-‘Allamah Al-Albany rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 2166 dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad )

Kesepuluh , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tetap berada di atas al-haq dan tidak ragu, bimbang, goncang, atau mengalami kontradiksi sebagaimana kebiasaan pengekor hawa nafsu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan merasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” [ Al-Isra`: 74-75 ]

Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah,

إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِيْ يَأْتِيْ هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ

“Sesungguhnya, dari sejelek-jelek manusia adalah yang mempunyai dua muka, yang datang kepada mereka (suatu kaum) dengan satu wajah dan (datang) kepada mereka (kaum yang lain) dengan satu wajah (yang lain).” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Mereka selalu ingat dan memperhatikan nasihat Hudzaifah bin Yaman kepada Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma,

اعْلَمْ أَنَّ الضَّلاَلَةَ حَقَّ الضَّلاَلَةِ أَنْ تَعْرِفَ مَا كُنْتَ تُنْكِرُ وَأَنْ تُنْكِرَ مَا كُنْتَ تَعْرِفُ وَإِيَّاكَ وَالتَّلَوُّنَ فَإِنَّ دِيْنَ اللهِ وَاحِدٌ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kesesatan yang sebenarnya adalah kamu mengetahui apa yang dahulu kamu ingkari, dan kamu mengingkari apa yang dahulu kamu ketahui, dan berhati-hatilah terhadap (sikap) berubah-ubah dalam agama, karena sesungguhnya agama Allah itu satu.” (Diriwayatkan oleh Ma’mar bin Rasyid dalam Jami’ -nya sebagaimana di bagian akhir Mushannaf ‘Abdurrazzaq 11/249, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf -nya 7/140, Al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnad -nya no. 470 ( Zawa`id Al-Haitsamy ), Al-Baihaqy 10/42, dan Al-Lalika`iy dalam Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah Wal Jama’ah 1/90)

Kesebelas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah sepakat pada pokok-pokok aqidah. Tidak ada perbedaan dan perselisihan di antara mereka walaupun mereka berbeda masa.

Berkata Syaikhul Islam Abul Muzhaffar Manshur bin Muhammad As-Sam’any rahimahullah, “Dan perkara yang paling jelas, yang menunjukan bahwasanya ahlul hadits adalah ahlul haq, yaitu sesungguhnya jika kamu menelaah atau memperhatikan seluruh kitab-kitab yang mereka tulis, dahulu maupun sekarang, walaupun negeri mereka berbeda-beda dan jaraknya berjauhan dan tinggal di negeri-negeri yang berbeda, kamu mendapati mereka, dalam menjelaskan aqidah, (berada) di atas satu cara dan jalan yang sama. Mereka berjalan di atas jalan tersebut dan tidak berpaling darinya, dan tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi ucapan mereka pada yang demikian itu. Penukilan mereka satu. Kamu tidak mendapati perbedaan dan perpecahan sedikit pun pada mereka, bahkan kalau kamu mengumpulkan seluruh perkataan yang keluar dari lisan-lisan mereka dan nukilan-nukilan mereka dari pendahulunya, kamu mendapatkan seakan-akan hal di atas berasal dari satu hati dan satu lisan. Maka apakah setelah kebenaran ini ada dalil yang lebih jelas darinya?

Allah berfirman,

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” [ An-Nisa`: 82 ]

Juga firman Allah,

“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu bermusuh musuhan (pada masa Jahiliyah), maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu jadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk.” [ Ali ‘Imran: 103 ]

Adapun jika kamu melihat pada ahlul ahwa` wal bida’, maka kamu melihat mereka bercerai-berai, berselisih dalam kelompok-kelompok dan partai-partai. Hampir-hampir kamu tidak mendapati dua (kelompok) di antara mereka (berada) di atas satu jalan dalam keyakinannya, membid’ahkan antara satu dengan yang lain, bahkan sampai mengkafirkan. Anak mengkafirkan bapaknya, seseorang mengkafirkan saudaranya, dan tetangga mengkafirkan tetangganya. Kamu mendapati mereka paling menonjol dalam perselisihan, kebencian dan perbedaan. Mereka menghabiskan umurnya, sementara kalimat mereka tidak pernah sepakat, sebagaimana firman Allah,

“Mereka tiada akan memerangi kalian dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu menganggap mereka itu bersatu padahal hati-hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” [ Al-Hasyr: 14 ].”

Lalu beliau memberi beberapa contoh, kemudian berkata, “Dan apakah di atas kebatilan ada dalil yang lebih jelas dari perkara ini? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” [ Al-An’am: 159 ].”

(Lihat Al-Intishar Li Ahlil Hadits dengan perantaraan Shaunul Mantiq hal. 165-170, Al-Hujjah Fi Bayan Al-Mahajjah 2/222-230, dan Mukhtashar Ash-Shawa’iq hal. 496-498)

Kedua belas , di antara karakteristik yang paling jelas membedakan antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah dengan ahlul bid’ah wal furqah adalah hakikat nama dan penyandaran. Ahlus Sunnah Wal Jamaah pada setiap penamaannya: Salafiyun, Ath- Thaifah Al-Manshurah , Al-Firqah An-Najiyah, dan Ahlul Hadits, semuanya adalah sandaran kepada sunnah dan jamaah yang hanya menggambarkan Islam yang hakiki. Adapun ahlul bid’ah wal furqah, penyandarkan diri mereka kadang kepada seseorang dari ahlul bid’ah atau pimpinan kesesatan seperti Jahmiyah, Kullabiyah, Maturidiyah, Jama’ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Sururiyah, dan Quthbiyah, kadang kepada pokok kesesatan mereka seperti Qadariyah, Jabariyah, dan Murji’ah, dan kadang kepada bentuk dan sifat kesesatan mereka seperti Rafidhah, Shufiyah, Falasifah, Bathiniyah, Mu’tazilah, dan Musyabbihah.

Berkata Al-Maqdisy, “Dan semua yang memberi nama selain Islam dan sunnah adalah ahlul bid’ah seperti Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan yang seperti mereka. Ini adalah kelompok-kelompok sesat dan kelompok-kelompok bid’ah. Semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lihat Lum’ah Al-I’tiqad hal. 124)

Secara umum, penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah berbeda dengan penamaan ahlul bid’ah wal furqah dari beberapa sisi:

  1. Penamaan-penamaan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah penisbahan kepada generasi awal umat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam . Penamaan tersebut akan mencakup seluruh umat pada setiap zaman yang berjalan sesuai dengan jalan generasi awal tersebut, baik dalam mengambil ilmu, memahamkan, maupun berdakwah.
  2. Kandungan dari penamaan-penamaan tersebut hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni, yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.
  3. Penamaan-penamaan tersebut adalah penamaan syariat yang mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam .
  4. Penamaan-penamaan tersebut hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, serta sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan mereka.
  5. Ikatan wala’ ‘loyalitas’ dan bara’ ‘kebencian, permusuhan’ bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan tersebut hanyalah di atas Islam (Al-Qur`an dan Sunnah), bukan karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok, organisasi, dan lain-lain.
  6. Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan tersebut kecuali kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam . Berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah. Fanatismenya untuk golongan, kelompok, atau pimpinan.
  7. Penamaan-penamaan tersebut sama sekali tidak akan menjerumuskan seseorang ke dalam suatu bid’ah, maksiat, maupun fanatisme kepada seseorang, kelompok, dan lain-lain.

Lihat Risalah Ilmiah An-Nashihah vol. 02 rubrik Manhaj.

Ketiga belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah menasihati kaum muslimin di manapun mereka berada, khususnya di negeri-negeri kaum muslimin, agar mencintai ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah , ber-wala’ kepadanya, memuliakannya dan menyebutnya dengan kebaikan, tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, menaatinya, dan merujuk kepada mereka khususnya dalam perkara-perkara besar dan nawazil, yang berkaitan dengan maslahat umat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan Ulil Amri di antara kalian.” [ An-Nisa`: 59 ]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman,

“Maka tanyakanlah oleh kalian kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tiada mengetahui.” [ Al-Anbiya`: 7 ]

Allah memerintahkan pula dalam firman-Nya,

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita berkaitan dengan keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalaulah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut syaithan, kecuali sebahagian kecil saja (di antara kalian).” [ An-Nisa`: 83 ]

Ulamalah yang mengetahui yang haq serta menetapkan dan menghukumi dengan haq, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalannya Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [ Saba `: 6 ]

Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam hadits Abu Darda,

إِنَّ الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَأَنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يَوْرِثْ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sempurna.” (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud no. 3096, Shahih At-Tirmidzy 2/59, dan Shahih Ibnu Majah no. 223)

Berkata Ash-Shabuny ( Aqidatus Salaf hal.121), “Salah satu karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah kecintaan mereka kepada imam-imam sunnah, ulama-ulamanya, penolong-penolongnya, dan wali-walinya.”

Berkata Ath-Thahawy rahimahullah, “Dan ulama salaf, dari yang terdahulu dan sesudahnya, dari kalangan tabi’in (yang mereka itu adalah) ahli kebaikan dan atsar, ahli fiqih dan nazhar, tidaklah disebut kecuali dengan kebaikan, dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan, maka ia tidak berada di atas jalan (Islam dan sunnah-pent.).” (dari Syarh Al- Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 740)

Siapakah ulama sunnah itu?

Berkata Imam Ibnu ‘ Abdil Barr, “Telah sepakat ahli fiqih dan atsar dari seluruh negeri bahwasanya ahlul kalam adalah ahlul bida’ dan penyimpangan, dan tidak dianggap ke dalam kelompok ulama menurut mereka di seluruh negeri. Sesungguhnya ulama itu adalah ahlul atsar, dan (kita) mengambil fiqih darinya, dan mereka bertingkat-tingkat di dalamnya sesuai dengan kemahirannya, keahliannya, dan pemahamannya.” (Lihat Jami Bayanil Ilmi Wa Fadhlihi 2/95-96).

Berkata Imam Al-Barbahary ( Syarhus Sunnah hal. 102 no. 103), “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, sesungguhnya ilmu itu bukanlah karena banyaknya riwayat dan kitab. Sesungguhnya Alim (ulama) itu adalah siapa yang mengikuti ilmu dan sunnah walaupun sedikit ilmu dan kitabnya, dan siapa yang menyelisihi kitab dan sunnah maka dia adalah ahlul bid’ah walaupun banyak ilmu dan kitabnya. ”

Salah satu ciri khas ahlul bid’ah adalah membenci ahlul hadits.

Berkata Ahmad bin Sinan Al-Qaththan, “Tidak ada seorang pun mubtadi’ (penganut bid’ah) di dunia kecuali dia pasti membenci ahlul hadits. Dan apabila seseorang berbuat bid’ah, maka akan dicabut manisnya hadits dari hatinya.” (Lihat Aqidah Ashhabil Hadits hal. 116, Shaunul Manthiq hal. 41, dan Tadzkiratul Huffazh 2/521)

Keempat belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah menyeru kaum muslimin untuk saling mencintai, merahmati dan menjalin ukhuwah islamiyah di antara mereka.

Seluruh hal tersebut sebagai realisasi dari firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” [ Maryam: 96 ]

Juga firman Allah Jallat ‘Azhamatuhu,

“Dan orang-orang, yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa, ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’.” [ Al-Hasyr: 10 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin bersaudara.” [ Al-Hujurat: 10 ]

Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi umat-umat kafir dan kelompok-kelompok yang sesat, yang Allah telah menetapkan kebencian dan permusuhan di antara mereka sehingga hati mereka bercerai-berai walaupun mereka berusaha menampakkan dan meneriakkan slogan persatuan dan kasih sayang, sebagaimana dalam firman Allah Al-‘Alim bidzatish Shadur,

“Kamu mengira mereka itu bersatu padahal hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” [ Al-Hasyr: 14 ]

Kelima belas , termasuk karakteristik Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang menonjol adalah kesungguhan dan kontinuitas mereka dalam menuntut ilmu syariat (Al-Qur`an dan Sunnah). Hal tersebut karena banyaknya dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan tentang keutamaan dan anjuran untuk menuntut ilmu, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [ Al-Mujadilah: 11 ]

Selain itu, dakwah di jalan Allah harus disertai dengan ilmu, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

“Katakanlah, Inilah jalan (agama)ku. Saya dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan saya tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’.” [ Yusuf: 108 ]

Sesungguhnya dakwah di jalan Allah adalah kewajiban, maka seorang da’i wajib untuk berilmu tentang apa yang dia dakwahkan.

Berkata Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, “Orang jahil tidak pantas untuk menjadi da’i.” (Lihat muqaddimah beliau terhadap kitab Manhajul Anbiya` fid Da’wah hal. 20 karya Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah)

Kemudian, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim.” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lain-lain, dari Anas bin Malik. Dihasankan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil rahimahumallah)

Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam juga bersabda,

يَحْمِلُ هَذَا الدِّيْنَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الُمْبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Agama ini akan diemban pada setiap generasi oleh orang-orang yang adil di antara mereka, (yang mereka itu) akan menolak setiap penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, kerusakan orang-orang yang batil, dan penakwilan orang-orang yang bodoh.” (Dishahihkan oleh Imam Ahmad sebagaimana dalam Syaraf Ashhabil Hadits hal. 29 karya Al-Khatib Al-Baghdady dan dihasankan oleh Salim Al-Hilaly dalam Basha`ir Dzawi Asy-Syaraf hal. 111)

Berkata Imam Ibnul Qayyim, “Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam memberitakan bahwasanya ilmu yang dibawanya akan dipikul oleh orang-orang yang adil dari umatnya, dari setiap generasi, supaya tidak lenyap dan hilang.” (lihat Miftah Dar As-Sa’adah 1/163)

Berkata Al-Isma’ily ( I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama ah hal. 54), “Mereka ( Ahlus Sunnah Wal Jamaah ) melihat (betapa wajibnya) mempelajari ilmu (syar’i) dan mencarinya (menuntutnya) dari tempatnya, dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari Al-Qur`an dan ilmu-ilmu tafsir, mendengarkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , menghafalkannya dan mempelajarinya (memahaminya), dan menuntut (mempelajari) atsar-atsar shahabat.”

Berkata Imam Al-Barbahary ( Syarhus Sunnah hal. 67 no. 8), “Maka lihatlah -semoga Allah memberikan rahmat kepadamu-, semua ucapan yang kamu dengar dari orang-orang, khususnya pada zamanmu, maka janganlah tergesa-gesa dan jangan masuk padanya (membenarkannya) sedikit pun sebelum kamu bertanya dan melihat apakah para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam atau seseorang dari ulama telah berbicara tentangnya (apa yang diucapkannya). Jika kamu mendapatkan suatu atsar padanya (yaitu orang yang berbicara dan berfatwa dari shahabat), berpegang teguhlah dengannya, jangan kamu melampauinya sedikit pun, dan jangan kamu memilih selainnya sedikit pun yang menyebabkan kamu masuk (ke dalam) neraka.”

Keenam belas , sebelum menetapkan hukum atau membuat kesimpulan dalam suatu masalah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah terlebih dahulu mengumpulkan seluruh nash yang berkaitan dengan masalah tersebut dan mengembalikan nash yang mutasyabih ‘samar-samar’ kepada yang muhkam ‘jelas’, sehingga sampai kepada yang haq dalam permasalahan, dan berbeda dengan ahlul bid’ah wal ahwa` yang membangun suatu hukum atau kesimpulan di atas sebagian nash dan membuang atau melupakan nash yang lain, dan kadang mencari dalil setelah membuat kesimpulan terlebih dahulu, serta menyenangi hal-hal yang mutasyabih.

Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman,

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Qur`an) kepada kamu. Di antara (isi)nya, ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur`an, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” [ Ali ‘Imran: 7 ]

Selain itu, dalam hadits ‘Aisyah riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ

“Kalau kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa-apa yang mutasyabih darinya (Al-Qur`an) maka mereka itulah yang disebut oleh Allah (dalam ayat di atas-pent.), maka berhati-hatilah.”

Ketujuh belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang menjaga prinsip amanah dan sikap adil pada segala perkara.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu), apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [ An-Nisa`: 58 ]

Allah Rabbul ‘Izzah juga berfirman,

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” [ Al-Ahzab: 72 ]

Allah memerintahkan pula untuk bersikap adil dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” [ An-Nahl: 90 ]

Lalu dalam Tanzil-Nya yang maha agung,

“Dan apabila kalian berkata, hendaklah kalian berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu).” [ Al-An’am: 152 ]

Kemudian dalam kalam-Nya yang maha mulia,

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [ Al-Ma`idah: 8 ]

Selanjutnya, Allah Jalla Sya`nuhu berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah meskipun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah hawa nafsu mendorong kalian untuk tidak berlaku adil.” [ An-Nisa`: 135 ]

Kedelapan belas , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah kepada al-ittiba’ ‘perbuatan mencontoh, mengikuti’ kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dan menjauhi al-ibtida’ ‘perkara baru/bid’ah dalam agama’.

Hal tersebut karena agama ini telah disempurnakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagi kalian.” [ Al-Ma`idah: 3 ]

Berkata Imam Malik rahimahullah, “Siapa yang membuat, dalam Islam, suatu bid’ah yang ia anggap baik, maka ia telah menyangka (Nabi) Muhammad berkhianat dalam menyampaikan risalah (Islam-pent.), karena Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian,’ maka apa yang tidak merupakan agama pada hari itu, tidaklah sebagai agama pada hari ini.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ

“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang ia ketahui bagi mereka, dan memperingatkan kepada mereka untuk berhati-hati dari kejelekan yang ia ketahui bagi mereka.” (diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Bid’ah adalah perkara yang berbahaya. Karena itulah, telah datang nash-nash dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan bahaya bid’ah dan ancaman bagi pelaku bid’ah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” [ Al-Jatsiyah: 18 ]

Kemudian, dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Siapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini (baca: agama kami) apa-apa yang tidak termasuk darinya (perkara kami), maka ia tertolak.” Dan dalam suatu riwayat Muslim , “Siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak dibangun di atas perkara kami, maka ia tertolak.”

Lalu, dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim, Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

الْمَدِيْنَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عَيْرٍ إِلَى ثَوْرٍ فَمْنْ أَحْدَثَ فِيْهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا.

“ Kota Madinah adalah (negeri) haram antara ‘Air sampai ke Tsaur (‘Air dan Tsaur adalah nama dua gunung-pent.). Siapa yang membuat perkara baru di dalamnya atau awa muhditsan/muhdatsan[1] maka atasnya laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak menerima dari dia sedikit pun.”

Bid’ah itu lebih berbahaya dari maksiat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Sesungguhnya ahli bid’ah lebih jelek dari ahli maksiat yang memperturutkan syahwat menurut As-Sunnah dan ijma’.” Lihat Majmu’ Fatawa jilid 20 hal. 103.

Kesembilan belas , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tidaklah menjatuhkan vonis kepada seseorang atau suatu kelompok dengan bentuk hukum kafir, fasiq, ahli bid’ah atau menyimpang, kecuali berdasarkan argumen yang jelas dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Hal ini sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [ Al-Hujurat: 6 ]

Allah Jalla Jalaluhu juga berfirman,

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [ Al-Isra`: 36 ]

Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan pula,

“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.’.” [ Al-A’raf: 33 ]

Selanjutnya, Allah Jalla Kibriya`uhu menegaskan,

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih.” [ An-Nahl: 116-117 ]

Dalam hadits Ibnu ‘Umar riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam mengingatkan,

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ.

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka (kalimat) tersebut telah ditanggung oleh salah seorang dari keduanya. Kalau memang seperti yang dia ucapkan, (maka tidak apa-apa), kalau tidak, maka (kalimat) itu akan kembali kepadanya.”

Kemudian, dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam menegaskan,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يُهْوَى بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغُرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan suatu kalimat yang ia tidak mencari kepastian apa yang ada di dalam kalimat itu, maka disebabkan hal itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”

Kedua puluh , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah mujaddid ‘pembaharu’ bagi umat dalam urusan agama mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,

إَنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mengutus kepada umat ini, setiap seratus tahun, orang yang menjadi mujaddid ‘pembaharu’ bagi umat ini pada agamanya.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daudno. 4291 dari Abu Hurairah)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah bersungguh-sungguh dalam beramal untuk menghidupkan tuntunan-tuntunan agama yang telah dianggap ghurbah ‘asing’ oleh kebanyakan manusia dan memperbaharui apa yang sudah hilang dari tanda-tanda tuntunan agama tersebut.

Kalau kita memperhatikan para mujaddid dalam sejarah Islam, kita akan mendapati bahwasanya mereka adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah , seperti ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah, imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘iy, dan Ahmad), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, dan selain mereka dari ahlul ‘ilmi dan iman sampai zaman kita ini seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albany rahimahumullahu Ta’ala.

Kedua puluh satu , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah ahlul jihad yang berjihad di jalan Allah dengan seluruh makna jihad, baik itu jihadun nafs ‘jihad dalam memperbaiki diri sendiri’, jihadusy syaithan ‘jihad melawan syaithan’, jihadul kuffar ‘jihad melawan kaum kafir’ maupun jihadul munafiqin ‘jihad menghadapi kaum Munafik’.

Dalil-dalil tentang jihad beserta jenis-jenis dan keutamaannya sangatlah banyak dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam . Tetapi, setiap jenis dari jihad tersebut -khususnya jihadul kuffar ‘jihad melawan kaum kafir’- di kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah memiliki syarat-syarat, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang detail dan terperinci. Berbeda dengan ahlul bid’ah wal ahwa` yang tidak memahami makna jihad dan tidak mengerti syarat-syarat, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan jihad sehingga lahirlah berbagai macam kerusakan dan pelanggaran syariat. Wallahul Musta’an.

Kedua puluh dua , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang paling banyak dan paling besar perhatiannya terhadap urusan-urusan kaum muslimin.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah berusaha menolong, menunaikan hak-hak, dan mewujudkan segala kebaikan kaum muslimin, serta menghilangkan dan menjauhkan kesulitan, kezhaliman, dan segala kejelekan yang menimpa kaum muslimin. Hal ini sebagai realisasi dari firman Allah Ar-Rauf Ar-Rahim,

“Dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” [ At-Taubah: 71 ]

Juga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma,

مَثْلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَى

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih sayang dan kelemahlembutan mereka adalah seperti tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh, seluruh tubuh ikut merasakan panas dan demam.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Lalu, sebagaimana sabda beliau yang lain dari hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu,

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهَا بَعْضًا

“Orang-orang beriman dengan orang beriman yang lain adalah seperti bangunan, saling menguatkan antara satu dengan yang lain.” (Diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)

Kedua puluh tiga , Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk mempersatukan kalimat kaum muslimin di atas kebenaran (Al-Qur`an dan Sunnah) dan menghilangkan sebab-sebab pertentangan dan perpecahan di antara mereka karena mereka tahu bahwasanya persatuan itu adalah rahmat sedangkan perselisihan dan perpecahan adalah adzab.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali(agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai . [ Ali ‘Imran: 103 ]

Allah Jalla Sya`nuhu juga menegaskan,

“Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” [ Al-An’am: 153 ]

Allah Rabbul ‘Izzah menyatakan pula,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka.” [ Al-An’am: 159 ]

Selain itu, Allah menjadikan perpecahan sebagai ciri kaum musyrikin dalam firman-Nya,

“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [ Ar-Rum: 31-32 ]

Perpecahan juga tercela dalam syariat seluruh para nabi dan rasul, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dia telah mensyariatkan kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah padanya.” [ Asy-Syu’ara: 13 ]

Kedua puluh empat , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah wasathiyah ‘pertengahan’ antara dua kutub: kutub ekstrim dan kutub menyepelekan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali (perkataan) yang benar.” [ An-Nisa`: 171 ]

Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman,

“Katakanlah, ‘Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agama kalian.’.” [ Al-Ma`idah: 77 ]

Kemudian, dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam menegaskan,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian ithra` melampaui batas dalam memuji ’ kepadaku sebagaimana orang-orang Nashara ithra` terhadap ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam juga mengingatkan,

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari ghuluw ekstrim dalam agama karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.” (Diriwayatkan oleh Ahmad 1/215, 347, Ibnu Abi Syaibah 3/248, An-Nasa`i 5/268 dan dalam Al-Kubra 2/435, Ibnu Majah no. 3029, Ibnul Jarud no. 473, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat 2/180-181, Al-Mahamily dalam Amali -nya no. 33, Al-Faqihy dalam Tarikh Makkah 4/288, Abu Ya’la 4/316 no. 2427, 4/357 no. 2472, Ibnu Khuzaimah no. 2867, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3871, Al-Hakim 1/637, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 10/30-31, Ath-Thabarany 12/no. 12747, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/223, dan Ibnu Hazm dalam Hajjatul Wada’ no. 139 dan Al-Muhalla 7/133. Dishahihkan oleh An-Nawawy, Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Al-Albany rahimahumullah. Lihat Ash-Shahihah no. 1283 dan Zhilalul Jannah no. 98)

Lalu, dalam hadits Ibnu Mas’ud riwayat Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda sebanyak tiga kali,

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah al-mutanaththi’ ‘orang yang berlebihan dalam ucapan dan perkataannya’.”

Selanjutnya, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا فَقَالُوْا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَا أَنَا فَإِنِّيْ أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا. وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ. وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكَنِّيْ أَصُوْمُ وُأُفْطِرُ وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ.

“Datang tiga orang ke rumah para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Tatkala dikabari (tentang ibadah itu), mereka menganggapnya sedikit. Mereka pun berkata, ‘Di mana kita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni untuknya yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya.’ Berkatalah salah seorang dari mereka, ‘Adapun saya, saya akan shalat lail selama-lamanya.’ Berkata pula yang lain, ‘Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka.’ Lalu berkata yang lain, ‘Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selama-lamanya.’ Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata, ‘Kaliankah yang berkata begini dan begini? Demi Allah! Sesungguhnya aku yang paling memiliki rasa takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi perempuan. Barangsiapa yang tidak senang terhadap sunnahku maka tidaklah termasuk dariku .’ .” (Muttafaqun ‘alaihi)

Wasathiyah Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan ciri mereka dalam menampakkan kebenaran yang selalu berada di antara kutub ekstrim dan kutub menyepelekan. Hal tersebut diterapkan dalam banyak permasalahan, yakni dalam masalah al-asma` wa ash-shifat ‘nama dan sifat Allah Ta’ala’, takdir, kecintaan kepada Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam , pemuliaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, karamah para wali, politik, kedudukan akal, penerapan hudud ‘hukum-hukum syariat’, pengkafiran, sikap terhadap penguasa, baiat, jihad, kecintaan kepada Ahlul Bait, dan lain-lain. Seluruh pembahasan masalah ini tidak bisa dimuat dalam tulisan ringkas kali ini. Wallahul muwaffiq.

Kedua puluh lima , Ahlus Sunnah Wal Jamaah juga mempunyai perhatian khusus terhadap tazkiyatun nufus ‘pensucian dan pembersihan diri’.

llah ‘Azza wa Jalla berfirman menunjukkan pentingnya tazkiyatun nufus ini dalam firman-Nya,

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,dan bulan apabila mengiringinya,dan siang apabila menampakkannya,dan malam apabila menutupinya,dan langit serta pembinaannya,dan bumi serta penghamparannya,dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” [ Asy-Syams: 1-10 ]

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” [ Al-Jumu’ah: 2 ]

Ahlus Sunnah Wal Jamaah bersungguh-sungguh dalam memperbaiki lahir dan bathin mereka. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan sunnah-sunnah sesudah menunaikan kewajiban-kewajiban. Mereka bersemangat untuk menunaikan shalat-shalat wajib, zakat, puasa bulan ramadhan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu, sebagaimana mereka bersegera dan berlomba-lomba untuk melaksanakan amal-amal shalih berupa memperbanyak dzikir, sunnah-sunnah, sedekah dan ibadah-ibadah yang lainnya. (Lihat Tazkiyatun Nufus Li Ibni Taimiyah tahqiq Doktor Muhammad Sa’id Al-Qahthany)

Kedua puluh enam , Ahlus Sunnah Wal Jamaah tegak melakukan amar ma’ruf ‘mengajak kepada kebaikan’ dan nahi mungkar ‘mencegah dari kemungkaran’ berdasarkan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang diterangkan oleh Al-Qur`an dan Sunnah.

Hal ini sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala,

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [ Ali ‘Imran: 104 ]

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” [ Ali ‘Imran: 110 ]

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [ Al-Ma`idah: 78-79 ]

Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلِإيْمَانِ

“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Kalau ia tidak sanggup, dengan lisannya. Kalau ia tidak sanggup, dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (Diriwayatkan oleh Muslimdari Abu Sa’id Al-Khudry)

Kedua puluh tujuh , Ahlus Sunnah Wal Jamaah memandang bahwasanya kebaikan kaum muslimin berkaitan dengan dua perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, karena Allah mengutus Rasul-Nya untuk memperbaiki manusia dengan dua hal tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” [ At-Taubah: 33 ]

Berkata ahli tafsir, “Al-huda yaitu ilmu yang bermanfaat dan dinul haq yaitu amal shalih.”

Dua hal tersebut adalah syarat terealisasinya janji Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [ An-Nur: 55 ]

Kedua puluh delapan , dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah tegak di atas manhaj tashfiyah dan tarbiyah.

Tashfiyah yaitu memurnikan segala perkara agama dari hal-hal yang mengotori agama tersebut yang tidak ada hubungannya dengan agama walaupun dianggap sebagai bagian dari agama, baik menambah, mengurangi atau mengada-adakan, yang perbuatan ini berasal dari orang-orang kuffar ‘musyrikin’, ahlul kitab, atau selain dari mereka, maupun dari kaum muslimin, khususnya ahlul bid’ah dan ahlul ahwa`, baik dalam perkara aqidah, ibadah, muamalah, manhaj-manhaj ilmu dan amalan, khutbah, karangan, dan lain-lain.

Adapun tarbiyah adalah mendidik umat di atas Islam yang suci dan bersih, sebagaimana apa yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam .

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan Rabbmu agungkanlah,dan pakaianmu bersihkanlah,dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah. [ Al-Muddatstsir: 3-5 ]

Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam juga bersabda,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِلَى حُنَيْنٍ وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ، وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌ يَعْكُفُوْنَ عِنْدَهَا وَيَنُوْطُوْنَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا : ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ا جْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. قَالَ : اللهُ أَكْبَرُ –وَفِيْ رِوَايَةٍ : سُبْحَانَ اللهِ- لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَمَا قَالَ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى : اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ.

“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam ke Hunain dan ketika itu, kami baru saja meninggalkan kekafiran, dan orang-orang musyrikin memiliki pohon bidara yang mereka i’tikaf di sekitar pohon itu dan menggantungkan senjata-senjata mereka, yang pohon tersebut disebut (dinamakan) Dzatu Anwath. Kami melewati pohon tersebut kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzata Anwath sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath.’ Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bertakbir -dalam riwayat yang lain bertasbih-, ‘Sungguh benar-benar kalian akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum kalian sebagaimana permintaan Bani Israil kepada Musa, Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata:(?) ‘Buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala).’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang jahil.’.’.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzy. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Zhilalul Jannah no. 76)

Kedua puluh sembilan , di antara dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dakwah kepada makarimal akhlaq ‘kemulian akhlak’.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung.” [ Al-Qalam: 4 ]

Allah Jalla wa ‘ Ala juga berfirman,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya . [ Ali ‘Imran: 103 ]

Lalu, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya.”

Kemudian, dalam Musnad Imam Ahmad dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam bersabda,

إَنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

“Saya hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Penutup

Demikian karakteristik manhaj dan dakwah Salafiyah, dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah , dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa sallam dan shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik sampai hari kiamat. Perlu diketahui pula oleh para pembaca bahwa apa yang tertulis di atas hanya sekadar ringkasan dan gambaran singkat tentang dakwah Ahlus Sunnah Wal Jamaah . Sebenarnya, setiap poin yang telah kami sebutkan membutuhkan uraian yang lebih meluas. Wallahul musta’an.

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk seluruh kaum muslimin. Wallahu Ta’ala A’lam.

[1] Kalau dibaca muhditsan maka artinya “melindungi suatu bid’ah” dan kalau dibaca muhdatsan artinya “melindungi orang yang menganut/membuat bid’ah” .

 

 

http://an-nashihah.com

By Abu Muhammad bin Saleh Dikirimkan di Aqidah